Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia sibuk menstigmatisasi berbagai tokoh tertentu bersamaan dengan para pengikutnya. Menariknya, fenomena tersebut bermuara pada satu titik yang sama, yaitu agama. Bermula dari glorifikasi nasab habib yang memicu konflik, pengkultusan tokoh melalui klaim pengalaman supranatural, hingga perilaku oknum gus (sebutan untuk putra kyai ulama) yang mencela dan menyakiti perasaan orang lain. Fenomena ini memicu kilas balik masyarakat terhadap histori pencapaiannya meraih label kontradiktif “Religius tapi nakal” yang disodorkan oleh media Big Alpha tahun 2024 silam.1
Menyikapi label tersebut, kita mungkin bertanya-tanya, bagaimana bisa sebuah kontradiksi—di mana keduanya ada dalam skala mayoritas—bersemayam pada suatu bangsa secara bersamaan? Sedangkan dalam alam fisik, sesuatu yang berlawanan mustahil bersatu. Satu hal yang perlu disoroti adalah bahwa data yang diajukan oleh media Big Alpha didasarkan pada penelitian yang menggunakan metode berbasis survei, di mana respon dari individu dikumpulkan menjadi sebuah data kuantitatif.2 Tentu saja, metode tersebut tidak spontan memberikan akses terhadap pengetahuan secara faktual. Karena istilah religiositas lebih kompleks daripada hanya memeluk agama dan tentunya tidak bisa diukur dari pandangan subjektif individu. Terlebih, apriori dari responden menjadi faktor yang sulit dihindari dalam penelitian, sehingga hal itu terlihat kontras dalam hasilnya yang tak luput dari kontradiksi. Dengan demikian, pelabelan tersebut memiliki celah untuk kritik dan analisis lebih lanjut.
Namun, terlepas dari keabsahan hasil penelitian tersebut, apakah label itu pantas disematkan pada bangsa Indonesia? Melihat bahwa fenomena yang menjadi acuan atau perwakilan bentuk religiositasnya justru menjadi sasaran stigmatisasi. Apakah hal tersebut bisa dikategorikan sebagai nilai religi atau bagian dari religiositas? Sehingga berkonsekuensi pada sahnya label tersebut.
Untuk menjawab pertanyaan ini, sudah semestinya diperlukan penentuan definisi yang tepat. Ceoworld, selaku penyelenggara penelitian tersebut, memberikan definisi yang cukup luas untuk mencakup aspek religiositas. Dalam artikel penelitiannya disebutkan bahwa “Religius” berarti kesetiaan/ketaatan yang mendalam terhadap realitas tertinggi atau tuhan, kepatuhan terhadap keyakinan atau praktik keagamaan, atau setia dengan cermat dan penuh kesadaran.3 Definisi ini menyinggung komponen utama dalam religiositas, yaitu aspek spiritual, ritual dan internalisasi nilai religi.
Sementara itu, dalam sebuah paper yang mengkaji literatur religiositas, sebagian akademisi tidak secara eksplisit mengaitkan aspek spiritual dalam definisinya. Kendati demikian, selalu terdapat suatu selipan yang inheren dengannya, yaitu internalisasi nilai religi dalam perilaku.4 Keduanya memiliki kaitan erat satu sama lain: internalisasi nilai religi dalam perilaku adalah manifestasi dari spiritual atau ekspresi darinya. Hal ini berdasarkan pandangan Zinnbauer (2005) yang memisahkan antara spiritualitas dan ekspresinya dalam bentuk religiositas (tradisional).5 Adapun jika meminjam pendapat yang menyamakan antara keduanya, maka menjadi sangat jelas bahwa hubungan manusia dengan realitas transenden menjadi aspek utama dalam religiositas.
Dari kajian definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa religiositas mencakup tiga aspek penting, yaitu: spiritualitas, ritual (bisa disebut: syariat), dan internalisasi nilai religi dalam perilaku sehari-hari (akhlak). Spiritualitas adalah perasaan atau kesadaran individu terhadap realitas transenden, yang kemudian melahirkan sebuah internalisasi nilai dan praktik ritual yang baik.
Dengan demikian, bangsa Indonesia—jika didasarkan pada fenomena yang telah disebutkan—tidak dapat dikategorikan sebagai bangsa yang religius. Hal ini disebabkan oleh absennya ketiga aspek tersebut, khususnya internalisasi nilai religi. Faktor utama dari absennya internalisasi nilai religi adalah ketiadaan aspek spiritualitas dalam diri. Karena jika seseorang menyadari eksistensi dari realitas transenden yang memiliki kekuasaan tak tertandingi, maka setiap aktivitas yang akan dilakukannya selalu didahului oleh pertimbangan dan antisipasi. Pertimbangan tersebut didasarkan pada keyakinan adanya pengawasan di manapun dan kapanpun. Oleh karena itu, penggunaan istilah yang lebih tepat adalah “kelihatan religius” atau “pura-pura religius”, bukan religius dalam arti yang hakiki.
Dari sudut pandang religi/agama, nilai religi—khususnya dalam islam—tidak pernah mengarahkan pemeluknya kepada aktivitas negatif, seperti pembentukan kasta sosial, glorifikasi diri dengan klaim takhayul, atau perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Oleh sebab itu, semua perilaku tersebut dan yang menjadi justifikasi Big Alpha telah menyalahi tuntutan nilai religi, sehingga hal ini menafikan penyematan kategori religius bagi siapapun yang melakukannya.
Label religiositas bagi bangsa Indonesia—berdasarkan fenomena di atas—lebih mungkin didasarkan pada stereotip yang berkembang di masyarakat. Setidaknya, 8 dari 10 orang yang saya temui menilai religiositas seseorang berdasarkan kuantitas praktik ritual atau simbol keagamaan yang tampak. Namun, saya kira sudah dipahami bersama bahwa ukuran ini belum cukup untuk menyebut seseorang atau suatu bangsa sebagai religius.
Pada akhirnya, pengkajian hakikat religiositas menjadi penting sebagai bahan refleksi. Melihat kemunduran umat beragama, absennya dalam peran membangun peradaban, serta pengaruh media, semakin memperkeruh kesucian agama. Hal ini memperkuat stereotip bahwa religiositas adalah faktor utama kemunduran sebuah bangsa. Namun, mesti ditegaskan kembali bahwa bukan religi dan religiositas yang salah. Sebuah sistem tidak mungkin menjadi sebuah indikator tunggal dalam kemajuan atau kemunduran. Agama adalah pedoman, dan suatu pedoman mustahil diukur berdasarkan kemajuan atau kemunduran. Akan tetapi, ekspresi atau aktualisasi dari pedomanlah yang mungkin diukur. Begitu juga seseorang yang menjalankan pedoman dengan baik, seharusnya dia menghindari aktivitas yang menyalahi pedoman tersebut. Karena pedoman selalu mengarahkan manusia kepada aktivitas yang positif. Oleh karena itu, agama bukanlah faktor kemunduran, melainkan cara manusia menyikapi agama yang menjadi penyebabnya. Agama adalah fondasi bangsa, suatu bangsa hanya akan maju jika prinsip-prinsipnya menyatu dalam setiap hela napas kehidupan mereka.
Wallahu a’lam bisshawab
- Big Alpha. (2024). Paradox Indonesia, Religius tapi nakal. Threads.
https://www.threads.net/@bigalphaid ↩︎ - Despina Wilson, Ceoworld. (2024 April 8). World’s Most (And Least) Religious Countries, 2024. https://ceoworld.biz/2024/04/08/worlds-most-and-least-religious-countries-2024/ ↩︎
- Despina Wilson, Ceoworld. (2024 April 8). World’s Most (And Least) Religious Countries, 2024. https://ceoworld.biz/2024/04/08/worlds-most-and-least-religious-countries-2024/ ↩︎
- Subhan El Hafiz & Yonathan Aditya. (2023). Kajian Literatur Sistematis Penelitian Religiositas di Indonesia. Jurnal Psikologi Religius 5 (2), 6-8. ↩︎
- Zinnbauer, B. J., & Pargament, K. I. (2005). Religiousness and Spirituality. In R. F. Paloutzian, & C. L. Park (Eds.), Handbook of the Psychology of Religion and Spirituality, 35. ↩︎