DESAKRALISASI AL-AZHAR

“Ujian di Azhar itu bukan seperti ujian biasa, banyak orang disini yang sudah merasa paham dan siap untuk ujian, namun hasilnya malah gak lulus”

Begitulah sekiranya makna dari sebuah pernyataan yang kerap saya dengar. Saya tidak memiliki validitas untuk mengatakan bahwa ini adalah suatu fenomena, namun kasusnya, 7/10 mahasiswa yang saya temui pernah mengungkapkan ini.

Seandainya cerita tersebut dirangkai menjadi sebuah premis, maka kemungkinan besar konklusinya meniscayakan kesakralan Al-Azhar sebagai institusi atau -lebih khusus- kesakralan ujian disana. Bahkan dari sebagian yang saya dengar, mereka justru mengatakan konklusi ini secara lantang. Jika ditetapkan bahwa konklusi inilah yang menjadi maksud dari ucapan itu, maka saya kira pernyataan ini adalah sebuah kekeliruan. Sebelum kita bahas titik kelirunya, maka perlu dipahami terlebih dahulu maksud dari kata “sakral”.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sakral adalah suci atau keramat. Kata “suci” meniscayakan kebersihan sesuatu dari sesuatu, maka di dalam kata “sakral” terdapat makna penetapan dan penafian dari sesuatu yang saling bertentangan (kontradiksi).

Seandainya kata “sakral” ditambahkan kepada sebuah institusi keagamaan, maka kemungkinan besar maknanya tertuju pada:

1. Penetapan atas kebaikan dan penafian atas kejahatan.

2. Penetapan atas kebenaran dan penafian atas kesalahan.

Namun, sebuah institusi keagamaan tidak mungkin menjadi sakral pada salah satu atau keduanya, maka di sinilah titik kekeliruannya. Makna sakral pertama menjadi keliru ketika disertakan pada institusi keagamaan karena kebaikan adalah hal yang fundamental dan niscaya bagi agama. Maka secara utuh, agama menjadi sakral —dalam penetapan kebaikan dan penafian kejahatan— dengan sendirinya. Dengan ini, walaupun sebuah institusi berorientasi pada bidang keagamaan, namun yang menjadi sakral bukan institusinya, melainkan yang sakral itu agama secara mandiri.

Adapun maknanya yang kedua, maka meniscayakan al-Azhar terbebas dari kesalahan. Namun ini sulit diterima, dengan fakta bahwa:

1. Al-Azhar adalah produk budaya yang dihasilkan manusia, sedangkan manusia tidak pernah terlepas dari kesalahan, maka Al-Azhar sebagai produk budaya dari manusia tidak pernah terlepas dari kesalahan.

2. Sulit untuk mengamini naungan Al-Azhar atas banyak ulama terkemuka sebagai sebuah jamaah -dalam hadits nabi- yang terhindar dari kesalahan, karena jamaah yang maksum atau sakral adalah kesepakatan seluruh ulama di dunia atas suatu permasalahan, sedangkan ulama Al-Azhar hanyalah sebagian dari ulama.

3. Telah menjadi kesepakatan bahwa kesakralan sesuatu dalam Islam —dalam konteks penetapan kebenaran dan penafian kesalahan— hanya terbatas pada Tuhan dan sesuatu yang melekat erat dengannya; misal, wahyu: dimana dengannya seorang rasul menjadi sakral.

Jika dengan seluruh argumentasi ini menguatkan terhalangnya kesakralan untuk disematkan padanya, maka ditetapkanlah kebalikannya yaitu profan, Maka al-Azhar adalah sesuatu yang profan. Lagipula perkataan perorangan diatas terlalu tergesa-gesa dalam menyimpulkan sebuah konklusi (Jumping Conclution), karena tentu kemungkinan atas ketidaklulusan seseorang banyak variabelnya. Misal:

1. Materi kuliah keagamaan meniscayakan riwayat (hafalan) dan logika (pemahaman), maka dalam   variabel ini terdapat 2 kemungkinan lagi:

-Dia memahami materi, namun tidak menghafalkan bagian yang mesti untuk dihafal (riwayat).

-Dia menghafal materi, namun tidak memahaminya.

2. Dunning Krueger Effect, dimana dia mengidentifikasi bahwa ia mampu dan siap secara pemahaman atau hafalan dalam melancarkan ujian. Namun kenyataannya, kompetensinya berbalik dengan identifikasi atau dugaannya.

3. Dia sudah siap secara materi -pemahaman dan hafalan- namun kurang teliti dalam memahami soal ujian.

4. Dia sudah siap secara materi, namun materi yang disiapkan bukan termasuk yang diujiankan.

5. Dia sebenarnya tidak siap secara materi, lalu berakhir ketidaklulusan, namun ia malu untuk mengatakan kegagalan itu adalah hasil dari perbuatannya, maka ia menggantungkan ketidaklulusannya pada pihak lain sehingga membuatnya merasa lebih nyaman.

Dan masih banyak kemungkinan lain yang bisa menjadi sebab ketidaklulusannya. Kendatipun sebagian orang mengatakan ini dengan tujuan memantik spiritualitas, namun mensakralkan sesuatu yang tidak mesti disakralkan, berarti mendistorsi nilai dari spiritualitas itu sendiri.

Hemat saya, kita tentu saja mengatakan bahwa semua ini terjadi atas kehendak Tuhan, termasuk jika ketidaklulusan terjadi sesuai kemungkinan yang saya suguhkan, itu juga masuk pada skenario-Nya. Namun, Tuhan telah menetapkan sunatullah -prinsip kausalitas- pada semua ciptaan-Nya di dunia ini. Maka bagaimanapun kita berpegang teguh pada nilai spiritual, jangan sampai memalingkan kita dari hukum alam semesta, karena kita adalah bagian darinya.

Wallahu a’lam bisshawab

Lainnya dari Joglo Mesir

Bagikan